"Hanya 5 persen pelajar Indonesia yang mempunyai kompetensi berpikir analitis, kompetensi sebagian besar pelajar baru pada tingkat mengetahui". Data itu berasal dari laporan McKinsey Global Institute 'Indonesia Today' dan sejumlah data rangkuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti diberitakan Koran Pendidikan Edupost. Bahkan dikatakan, kompetensi pelajar Indonesia masih di bawah pelajar lain di Asia, seperti Jepang, Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Sayangnya, kondisi kompetensi itu malah dijadikan salah satu alasan Mendikbud, Muhammad Nuh, merancang Kurikulum 2013 yang saat ini masih menimbulkan pro kontra karena memiliki banyak kekurangan. Ketua Dewan Pendidikan Sumsel, yang juga pengamat pendidikan dari IAIN Raden Fatah, Sirozi, berpendapat kurikulum Indonesia yang sangat padat memang menghambat pengembangan diri dan kreativitas pelajar.
Kondisi Pendidikan Indonesia sulit berubah sekalipun mengganti kurikulum baru selama sistem belajar masih menggunakan metode hapalan apalagi teoritis yang tidak bisa diaplikasikan pada dunia penelitian, lingkungan kerja dan juga kehidupan sehari-hari.
Selain itu, siswa tidak diberi kesempatan berpikir analitis di kelas, hanya disuruh menjawab soal LKS. Siswa jarang dipancing dengan pertanyaan atau diskusi yang diarahkan oleh guru. Tak jarang pula jika siswa bertanya malah di'jatuhkan' oleh guru atau diejek teman sekelas.
Seorang siswa bertanya, "Pak Guru, saya mau tanya....". Jawab Guru, "Kayak gitu aja ditanyain, kamu gimana sih gitu aja gak ngerti!"
Soal Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) keselurahannya berupa pilihan ganda. Tak ada satupun pertanyaan esai yang mengharuskan siswa berpikir analitis, seperti "Bagaimana menurut anda tentang...".
Karena lingkungan belajar tetap tidak memberi kesempatan tersebut, alhasil hingga saat ini pelajar Indonesia pun semakin kurang terasah kemampuan analitisnya.
0 comments:
Post a Comment